Hatib Ibnu Balta'ah ra. - Pernah Mengkhianati Rasulullah
Di
Makkah ia tidak mempunyai kedudukan yang tinggi karena ia bukan dari
keluarga bangsawan, juga bukan dari keluarga pembesar, bukan hartawan
dan bukan pedagang. Tujuan hidupnya yang utama adalah mencintai Allah
dan Rasul-Nya, dan itu telah memberinya kemuliaan dan kehormatan. Di
antara penghormatan Rasulullah SAW kepada Hatib yaitu baginda SAW telah
mengutus ia agar datang kepada Al-Muqauqis, seorang pembesar suku Qibti
dari Mesir, untuk menyampaikan surat Rasulullah yang isinya menyeru pada
Al-Muqauqis ke dalam Islam.
Setelah
Al-Muqauqis membaca surat baginda tersebut dengan cermat, ia memandang
Hatib dan bertanya padanya: "Bukankah sahabatmu itu seorang Nabi?" Jawab
Hatib. "Benar, Baginda adalah utusan Allah." Mendengar jawaban Hatib,
Al-Muqauqis mengirimkan beberapa hadiah kepada Rasulullah SAW di antara
hadiah itu seorang hamba wanita bernama Mariyah Al-Qibtiyah.
Hatib
Ibnu Balta'ah adalah seorang penduduk Yaman, ia adalah sahabat Zubair
Ibnu Awwam. Ketika ia berhijrah ke Madinah, ia meninggalkan anak dan
saudara-saudaranya. Pada masa jahiliyah, ia seorang penunggang kuda yang
berani dan penyair ulung. Bait-bait syairnya sering disebarkan oleh
para perawi dan dilagukan para kafilah dagang Arab. Ia masuk Islam
ketika ia masih muda belia. Dan ia sangat tekun mempelajari syariat
Islam dan ajarannya ketika ia masih muda. Selain itu pada perang Badar,
ia turut bergabung dalam jihad fisabilillah; dan ia juga ikut bersama
Rasulullah pergi ke Al-Hudaibiyah dan menyaksikan "Baiatur Ridwan."
Mengkhanati Rasulullah
Pada
tahun 8 H. di saat Rasulullah SAW sedang sibuk mempersiapkan penaklukan
kota Makkah sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah, ketika itu
fikiran Hatib gundah gulana. Ia sedih memikirkan anak-anaknya dan
keluarganya yang tidak aman daripada penganiayaan kaum Quraisy, karena
di Makkah mereka tidak mempunyai pelindung yang dapat melindungi dan
menjaga mereka daripada musuh-musuh Islam. Bisikan-bisikan syaitan
selalu menggoda fikirannya hingga ia merasa kalut, dan fikirannya buntu.
Maka ia memutuskan akan mendekati kaum musyrikin Quraisy dengan
memberitahu pada mereka mengenai rahasia-rahasia kekuatan senjata yang
telah dipersiapkan Rasulullah untuk penaklukan atas kota Makkah.
Tidak
pernah terfikirkan olehnya, bahwa perbuatan itu merupakan pengkhianatan
terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan bahwa rahasia tentara adalah amanat
yang ada di bahu para perajurit. Bila salah satu rahasia sampai
dibocorkan, maka perajurit tersebut akan mendapat amarah dari Allah,
malaikat-Nya dan semua kaum muslimin, karena ia membocorkan rahasia
kekuatan laskar yang akan menghadapkan pasukannya pada bahaya dan
sekaligus menghadapkan tanah air pada kebinasaan.
Itulah
langkah yang terburuk dalam kehidupan Hatib Ibnu Balta'ah. Ia bertekad
untuk memberitahu kaum Quraisy tentang tentara Islam yang telah
dipersiapkan Rasulullah SAW. Cahaya iman telah padam di hatinya. Ia
tidak lagi memikirkan keagungan akidah. Maka dengan tangan gementar ia
mulai menulis surat kepada pembesar-pembesar Quraisy, membuka rahasia
laskar Islam yang dipersiapkan secara matang oleh Rasulullah ke Makkah,
agar mereka mempunyai gambaran atas keadaan kaum muslimin Madinah.
Surat
itu diserahkan kepada seorang wanita. Ia menyuruh wanita tersebut agar
merahasiakan surat itu di sanggul rambutnya sehingga jika ada orang yang
menghadang kenderaannya, maka surat itu tidak akan diketahui. Ia
berjanji pada wanita itu akan memberi hadiah yang mahal bila surat itu
telah sampai di tangan pembesar Quraisy.
Baru
saja wanita tersebut meninggalkan Madinah, malaikat Jibril segera
memberitahu Rasulullah tentang apa yang telah dilakukan Hatib. Maka
Rasulullah cepat-cepat memanggil Ali Ibn Abi Thalib dan Zubair Ibn
Awwam. Baginda berkata: "Kejarlah wanita itu, ia memberitahu surat Hatib
untuk para pembesar Quraisy yang isinya menerangkan mereka tentang
persiapan yang telah kita himpun dalam menaklukkan mereka."
Ali
dan Zubair bergegas keluar mencari wanita itu dan keduanya menemukan
wanita tersebut di daerah Raudhah Khah, 7 batu dari Madinah. Ketika Ali
ra. menyuruh wanita itu supaya mengeluarkan surat Hatib, wanita itu
tidak mengaku kalau ia sedang membawa surat. Maka Ali pun berdiri dan
memeriksa kenderaannya, tetapi ia tidak menemukan surat itu.
Akhirnya
dengan marah Ali memandang wanita itu dan berkata: "Aku bersumpah
kepada Allah bahwa Rasulullah tidak pernah berdusta. Sekarang kamu harus
pilih apakah kamu mau menyerahkan surat itu kepadaku, ataukah aku harus
menelanjangi kamu!" Setelah Ali bersikap kasar dan memberi dua pilihan,
akhirnya wanita itu berkata: "Berpalinglah." Setelah itu Ali
membalikkan badan kemudian wanita itu membuka ikatan rambutnya dan
mengeluarkan surat darinya, lalu menyerahkan surat itu kepada Ali.
Ali
dan Zubair segera kembali kepada Rasulullah dengan membawa surat Hatib.
Rasulullah menghadirkan Hatib Ibn Abu Balta'ah dan bertanya kepadanya,
"Wahai Hatib, apa yang mendorong kamu berbuat demikian?" Maka oleh Hatib
dijawab dengan nada terputus-putus: "Wahai Rasulullah, janganlah
tergesa-gesa menghukum diriku. Semua itu kulakukan karena aku bukan dari
golongan Quraisy, di Makkah aku masih mempunyai sanak saudara. Maka aku
ingin kaum Quraisy menjaga keluargaku di Makkah. Dan sungguh, itu aku
lakukan bukan karena aku telah murtad dari Islam, dan bukan pula aku
rela kepada kekufuran sesudah iman."
Rasulullah
memandang semua sahabat yang hadir dengan wajah bersinar, dan baginda
berkata kepada mereka: "Bagaimana pun juga, ia telah berkata jujur."
Suasana
majlis menjadi hening sejenak, tiba-tiba Umar berkata: "Wahai
Rasulullah, izinkan aku memenggal leher orang munafik ini."
Umar
berpandangan bahwa membocorkan rahasia-rahasia laskar Islam merupakan
pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya, maka balasannya adalah harus
dibunuh. Orang yang mengadakan hubungan dengan musuh, maka balasannya
adalah dijatuhi hukuman mati.
Sementara
itu Rasulullah telah memaafkan Hatib karena ia telah mengakui dosanya.
Selain itu baginda mengingat perjuangan Hatib di masa lalu karena ia
berjuang di medan perang Badar, sehingga banyak pasukan musyrikin yang
mati di bawah tebasan pedangnya. Ia berani menghadapi bahaya dengan
menerjang barisan musuh. Rasulullah juga mengingat posisi Hatib pada
hari Bai'atur Ridwan di bawah sebuah pohon yang diberkahi, di mana pada
saat itu para malaikat menyaksikan orang-orang mukmin yang sedang
mengulurkan tangan mereka untuk berbaiat kepada Rasulullah.
Kesalahan Hatib Dimaafkan
Atas
tiga dasar itu, maka baginda memandang Umar dan berkata: "Wahai Umar
bagaimana pendapatmu, jika Allah telah memberi kelonggaran pada pejuang
Badar?" Allah berfirman dalam Al-Ouran surah Al-Mumtahanah ayat 1 yang
artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan
musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia, (sehingga) kamu
menyampaikan kepada mereka (berita-berita) Muhammad, dikarenakan rasa
kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka ingkar kepada kebenaran yang
datang kepadamu, mereka mengusir Rasulullah dan (mengusir) kamu karena
kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk
berjihad di jalan-Ku. Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita
Muhammad) kepada mereka, karena kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa
yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Barangsiapa di antara
kamu yang melakukan, maka sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan
lurus."
Hal
lain yang menguatkan diterimanya taubat Hatib; pada suatu hari salah
seorang pelayan Hatib datang kepada Rasulullah untuk mengadukan
perlakuan Hatib kepadanya, kemudian pelayan itu berkata: "Wahai
Rasulullah, kelak sungguh Hatib akan masuk neraka." Tetapi Rasulullah
berkata: "Tidak, karena ia ikut berperang pada peristiwa Badar dan juga
ikut dalam perjanjian Hudaibiyah."
Sejak
saat itu, Hatib menangis menyesali perbuatannya. Siang dan malam
dilakukan dengan selalu memohon ampunan kepada Allah atas kesesatannya
hingga ia meninggal dunia pada usia 53 tahun tepatnya pada tahun 30 H.
yaitu pada masa pemerintahan Usman Ibn Affan. Ia menghadapi kematian
dengan jiwa yang ridha karena ia tahu bahwa Rasulullah telah
memaafkannya meskipun ia telah mengkhianati hak Allah, Rasulullah dan
kaum mukminin
0 komentar:
Posting Komentar